
Dewan Energi Nasional atau DEN menilai listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara bukanlah sumber energi yang murah, dan tidak akan mampu bersaing dengan sumber energi baru seperti nuklir dan energi terbarukan lainnya.
Pasalnya, biaya eksternal dari operasional PLTU seperti kerusakan lingkungan, emisi dan pembakaran abu yang kerap menimbulkan penyakit tidak diperhitungkan. Apalagi, batu bara untuk PLTU mendapat harga khusus dari kebijakan DMO, jauh di bawah harga pasar.
Anggota DEN Satya Widya Yudha menyatakan, ke depan harga energi yang dihasilkan dari energi fosil tidak akan mampu bersaing dengan harga listrik dari sumber energi baru dan terbarukan (EBT). Selain eksternalitas negatif, hal ini juga disebabkan oleh kewajiban pajak karbon.
“Jangan salah listrik batu bara, mahal kalau faktor eksternalitas dimasukkan, kerusakan lingkungan akibat operasi batu bara selama ini belum dimasukkan. Lalu untuk emisi, kalau misalnya menyebabkan orang terkena asma, faktor itu harus dimasukkan. ,” ujarnya di kompleks DPR, Selasa (13/12).
Ia mengatakan, perhitungan perbandingan antara harga terjangkau listrik fosil dan EBT harus memasukkan unsur eksternal agar berimbang. Pasalnya, dampak pembakaran batu bara seperti kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan masyarakat merupakan biaya yang harus dikeluarkan atau masuk ke kas negara.
“Jadi kalau membandingkan EBT dengan energi fosil, harus memperhitungkan kerusakan lingkungan. Jangan hanya menggunakan harga batu bara, karena dulu cenderung lebih murah,” ujar Satya.
Potensi Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
Satya menambahkan, pengembangan PLTN di Indonesia kemungkinan besar akan menggunakan teknologi Small Modular Reactor (SMR). Menurutnya, teknologi ini bisa dibangun di pulau-pulau kecil sehingga relevan diterapkan di negara kepulauan seperti Indonesia.
Menurut Sayta, PLTN berdaya rendah ini juga bisa digunakan sebagai pengganti Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). “Teknologi SMR memiliki kapasitas 20 megawatt (MW), 40 MW. Jadi tidak berbahaya bagi Indonesia karena bisa ditempatkan di pulau-pulau terpencil,” ujar Satya.
Lebih lanjut, kata Satya, implementasi PLTN di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perhitungan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dalam skenario DEN, jika pertumbuhan ekonomi Indonesia konstan sebesar 5,2%, maka bauran EBT pada sistem ketenagalistrikan Indonesia akan sebesar 60% pada tahun 2060.
Pengurangan ini akan meningkat menjadi 61% jika pertumbuhan ekonomi mencapai 5,9%. Secara umum, pertumbuhan ekonomi yang merayap akan berdampak paralel pada peningkatan permintaan energi, terutama untuk kebutuhan energi bersih yang sedang mengalami tren positif.
“Jadi semua ini tidak lepas dari pertumbuhan ekonomi. Kalau ekonomi besar otomatis permintaan akan meningkat,” ujarnya. “Kalau kebutuhan meningkat, timbul pertanyaan energi apa yang bisa mendukung kebutuhan energi bersih? Lalu mengapa nuklir sebagai alternatif,” kata Satya.
Sebelumnya diberitakan, Kementerian ESDM tengah mendorong percepatan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dengan membentuk Tim Persiapan Pembentukan Organisasi Pelaksana Program Tenaga Nuklir atau NEPIO.
Tim tersebut akan bertugas mengkaji potensi kawasan untuk pendirian PLTN, kesiapan infrastruktur hingga regulasi untuk pengembangan PLTN di dalam negeri.
Anggota DEN Herman Darnel Ibrahim mengatakan, pembentukan Tim Persiapan ini merupakan tahap 1 dari rangkaian tahapan yang harus dilalui dalam upaya pengembangan PLTN. Setelah membentuk Tim Persiapan, langkah selanjutnya adalah mengkaji potensi pengembangan PLTN.
“Penentuan berapa gigawatt (GW) yang akan dibangun akan ditentukan saat tahap 1 selesai,” kata Herman beberapa waktu lalu, Senin (31/10).
Herman mencatat, pembangunan PLTN di Indonesia kemungkinan berada di luar Pulau Jawa dan berskala kecil. Produksi tenaga listrik akan menyesuaikan dengan kebutuhan listrik di daerah tertentu.
“Di Jawa belum ada calon lokasi karena akan sangat rumit untuk memilih lokasi. Jadi kalau untuk skala kecil di luar Jawa, kapasitasnya berarti dikoordinasikan dengan kelistrikan di daerah itu,” ujar Herman.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) periode 2012-2018, Djarot Sulistio Wisnubroto mengatakan, persiapan pembangunan PLTN tahap pertama sudah dimulai sejak 2009 dan sedang dipelajari oleh Badan Energi Atom Internasional. Badan (IAEI).
Meski sudah sampai tahap review oleh IAEI, Dradot mengatakan pemerintah harus lebih serius mengembangkan energi nuklir sebagai pembangkit listrik tenaga nuklir.
“Tidak ada kata ‘go nuklir’ dari pemerintah, otomatis tidak ada manajemen, artinya tidak ada NEPIO, dan tidak ada keterlibatan stakeholder. Ini PR,” kata Djarot.