
Kementerian ESDM menindaklanjuti dugaan ekspor ilegal lima juta ton bijih nikel ke China melalui korespondensi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Beijing. Koordinasi tersebut bertujuan untuk mendapatkan klasifikasi untuk mencatat ekspor komoditas mineral dari otoritas China.
Pelaksana Tugas Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Muhammad Wafid mengatakan dugaan ekspor ilegal bisa terjadi karena perbedaan persepsi pencatatan ekspor komoditas mineral antara Indonesia dan China.
Wafid menjelaskan, perbedaan persepsi tersebut mengacu pada bagaimana masing-masing negara menentukan kode penjualan barang tambang. Dia mencontohkan, Indonesia masih membuka ekspor bijih besi yang kemungkinan masih mengandung mineral terkait berupa bijih nikel.
“Misalnya di bijih besi masih ada nikel, di bawah 2-1%, untuk Indonesia tidak masalah dan bukan bagian dari nikel. Tapi di China bisa dianggap sebagai nikel, lalu dihitung,” Wafid katanya di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Selasa (4/7).
Dia melanjutkan, pemerintah belum mengeluarkan kesimpulan terkait kebocoran ekspor bijih nikel ke China. “Belum ada kesimpulan presumptive, karena biasanya cara perhitungannya berbeda-beda,” kata Wafid.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menindaklanjuti dugaan ekspor ilegal lima juta ton bijih nikel ke China. Informasi yang digaungkan KPK menemukan adanya penjualan bijih nikel secara ilegal sejak Januari 2020 hingga Juni 2022.
Direktur Komunikasi dan Pembinaan Pengguna Jasa Kepabeanan dan Cukai, Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, dugaan penyelundupan ekspor bijih nikel ke China sangat beralasan. Pasalnya, pihaknya juga telah menemukan dan mencegah kejadian serupa dengan total 71.000 ton pada September 2021.
“Lima juta ton barang bukan jumlah yang sedikit. Tuduhan penyelundupan ini sudah berlangsung sejak 2020, artinya ekspor bijih nikel dan konsentratnya dilarang,” ujar Nirwala di Zona Pertambangan CNBC, Senin (26/6). ). .
Melalui informasi dari KPK, pihak internal Kementerian Keuangan, termasuk Bea dan Cukai, telah melakukan koordinasi lebih lanjut untuk analisis mendalam terhadap data dari The General Administration of Customs of China (GACC) atau Administrasi Umum Kepabeanan. China yang menjadi sumber referensi KPK.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengatakan, pihaknya mengetahui adanya ekspor bijih nikel ilegal tersebut. APNI juga sudah menutup masalah ini dengan Kementerian ESDM pada 2022.
Menurut Meidy, modus operandi ekspor bijih nikel ilegal yang dihadapi pihaknya pada 2021-2022 menggunakan kode HS 2604 yang mengacu pada komoditas nikel olahan atau nickel pig iron (NPI). APNI menyebutkan, ekspor bijih nikel ilegal sebanyak 839.161 ton pada 2021 dan 1,08 juta ton pada 2022 dengan nilai sekitar US$ 54,64 juta.
Praktik dua tahun tersebut sama-sama menggunakan modus operasi menggunakan kode HS 2064 yang mengacu pada produk bijih nikel olahan. Meidy mengatakan kode HS 2604 merupakan kode penjualan untuk perusahaan pengolahan atau pabrik, bukan produk pertambangan.
Ia mendorong Bea dan Cukai lebih berhati-hati dalam menyampaikan dokumen penjualan dengan melakukan pengecekan lebih lanjut terhadap komoditas yang dilaporkan dan mewaspadai pabrik yang memiliki akses ke pelabuhan internasional untuk ekspor produk nikel olahan.
“Dokumen laporan penjualan yang digunakan adalah HS 2604 yang untuk NPI atau semacamnya. Jadi bukan bijih nikel,” ujar Meidy di forum yang sama.