
Kementerian ESDM memastikan pelaksanaan pungutan ekspor batu bara akan dikendalikan di luar mekanisme Badan Layanan Umum (BLU). Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, mekanisme BLU yang diajukan pengusaha dirasa tidak sesuai dengan mekanisme yang diatur pemerintah.
“Mestinya ada mekanisme lain. BLU kan usulan dari pengusaha, jadi mekanisme yang dipakai untuk mekanisme pemerintah itu tidak benar,” kata Arifin saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (13/12). 1).
Arifin menjelaskan, pemerintah juga sudah berkomunikasi dengan pengusaha terkait mekanisme pungutan ekspor batu bara pengganti BLU. “Itu yang sudah disampaikan kepada pengusaha,” kata Arifin.
Konsep kerangka BLU awalnya akan meniru Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Namun seiring berjalannya waktu, pemerintah bersama pengusaha melihat konsep kerja BLU tidak bisa disamakan dengan BPDPKS.
Ketua Forum Pertambangan & Energi Indonesia Singgih Widagdo mengatakan, pemerintah dan pengusaha batu bara dikabarkan telah sepakat mengubah mekanisme pelaksanaan pungutan ekspor batu bara menjadi Badan Pengelola Mitra (MIP) PNBP, bukan BLU.
Perubahan ini bertujuan untuk menghindari kewajiban mengalokasikan pembiayaan untuk memenuhi pelayanan dasar seperti penyaluran bantuan kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan UKM sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 129 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengelolaan BLU.
“Dengan pola BLU, harus menyetor dana untuk pendidikan dan kesehatan, kalau tidak salah 15-25%. Kemudian diubah menjadi MIP sehingga tidak ada kewajiban untuk menyetorkan dana tersebut,” ujar Kepala Negara. Mining & Energy Forum, Singgih Widagdo saat dihubungi melalui telepon, Selasa (10/1).
Menurut Singgih, usulan awal perubahan BLU menjadi MIP inisiasi pemerintah. “Kemungkinan BLU diubah menjadi MIP, itu yang ditekankan Minerba. Perubahan menjadi MIP ini baru banget, pertemuannya sekitar seminggu yang lalu,” ujar Singgih.
Singgih juga menjelaskan mekanisme pelaksanaan MIP berbeda dengan konsep kerangka kerja BLU yang akan meniru Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS. Menurutnya, peran MIP hanya akan menjalankan satu fungsi, yaitu sebagai lembaga ‘gathering-channel’.
Melalui skema cross channel ini, PLN dan semen, pupuk serta industri tertentu hanya perlu membayar batu bara senilai domestic market obligation atau harga jual DMO, yakni US$ 70 per ton untuk PLN dan US$ 90 per ton untuk industri.
Selisih harga jual pasar akan dibayarkan kepada pengusaha melalui dana yang terkumpul oleh MIP. Sumber pendanaan MIP berasal dari pungutan ekspor batubara. “Ya beda. BPDPKS umumnya bukan untuk dihibahkan lalu disalurkan kembali, tapi membantu peremajaan untuk membantu penanaman sawit,” kata Singgih.