
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan penarikan Air Products and Chemicals Inc. dari dua proyek hilir batubara dengan PT Bukit Asam dan PT Kaltim Prima Coal karena perubahan arah bisnis perseroan ke pengembangan hidrogen di negara asalnya, Amerika Serikat. (AMERIKA SERIKAT).
Pergerakan Air Products juga didorong oleh kebijakan Pemerintah AS yang mendukung pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) dengan memberikan subsidi pada proyek-proyek yang sedang berjalan, khususnya dalam pengembangan hidrogen.
“Karena AS mendorong penggunaan hidrogen, mereka merasa AS lebih menarik untuk bisnis. Di AS ada subsidi EBT, ada proyek yang lebih menarik hidrogen,” ujar Arifin saat ditemui di Kementerian Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral pada Jumat (17/3).
Hal ini diatur dalam Inflation Reduction Act (IRA) atau Undang-Undang Pengurangan Inflasi yang diterbitkan pada Agustus 2022. Melalui IRA, pemerintah AS mengalokasikan US$ 369 miliar untuk menjaga ketahanan energi negara sekaligus memitigasi dampak perubahan iklim.
IRA juga mengatur fasilitas kredit investasi untuk pengembangan proyek dan teknologi penyimpanan hidrogen. “Hal ini menyebabkan banyak investor yang lari ke AS,” kata Arifin.
Hilir Batubara Berkelanjutan
Meski begitu, Arifin memastikan proyek hilirisasi batu bara tetap berjalan mengingat hilirisasi merupakan syarat perpanjangan izin usaha pertambangan khusus atau IUPK.
Aturan ini tertuang dalam Pasal 169A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral. “Hilirisasi batu bara masih perlu dilanjutkan, apakah menjadi dimethyl ether atau apa. Namun, perlu dilanjutkan,” kata Arifin.
Sementara itu, PT Kaltim Prima Coal berencana membangun proyek pengolahan batu bara menjadi metanol. Proyek yang berlokasi di Bengalon, Kalimantan Timur ini ditargetkan beroperasi pada 2025 dengan kapasitas batu bara 5-6,5 juta ton per tahun (GAR 4.200 kcal/kg). Yield produk ditargetkan mencapai 1,8 juta ton metanol per tahun.
Sementara itu, rencana proyek hilirisasi batubara PT Bukit Asam berorientasi pada gasifikasi batubara menjadi Dimethyl Ether (DME). Proyek yang berlokasi di Tanjung Enim, Sumatera Selatan ini diperkirakan mampu memproduksi 1,4 juta ton DME per tahun dari 6 juta ton batu bara berkalori 4.200.
Selain itu, pabrik tersebut juga akan memproduksi 2,1 juta ton metanol per tahun dan Syngas atau gas sintetis sebesar 4,5 juta kN/m3 per tahun.