
PT Freeport Indonesia atau PTFI mengajukan permintaan ekspor konsentrat tembaga sebanyak 2,3 juta ton dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKAB) ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun ini. Pengajuan permohonan ekspor tersebut dilakukan di tengah rencana pemerintah untuk melarang ekspor semua mineral mentah secara serentak pada Juni 2023.
Direktur Utama Freeport Indonesia Tony Wenas mengatakan, permintaan volume ekspor konsentrat tembaga tahun ini lebih tinggi dari realisasi ekspor tahun sebelumnya sebesar 2 juta ton. Saat ini, perseroan masih menunggu hasil verifikasi terkait pembangunan proyek peleburan tembaga Gresik yang dilakukan verifikator independen. Keputusan verifikasi merupakan salah satu syarat untuk memperoleh izin ekspor.
Memang persetujuan izin ekspor masih dalam proses, kata Tony dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR, Senin (6/2).
Pembangunan smelter tembaga Gresik menjadi tanggung jawab perseroan setelah Freeport mendapatkan perpanjangan kontrak Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada 2018. SK tersebut mewajibkan Freeport menyelesaikan proyek peleburan dalam waktu lima tahun, tepatnya pada 21 Desember 2023.
Kemudian target ini harus dikoreksi karena proyek tertunda akibat Pandemi Covid-19. Yang terbaru, proyek smelter Gresik diproyeksikan beroperasi komersial pada akhir 2024. Sedangkan progres konstruksi smelter Gresik hingga akhir Januari 2023 baru mencapai 54%.
“Pandemi Covid-19 sangat mempengaruhi kami sehingga kami telah mengajukan penundaan proyek kepada pemerintah,” kata Tony.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno mengusulkan pemerintah memungut pajak ekspor bagi pengusaha tambang mineral yang belum menyelesaikan pembangunan fasilitas pemurnian atau peleburan untuk program hilirisasi di dalam negeri. Langkah tersebut merupakan jalan tengah dari kebijakan penerapan larangan ekspor semua mineral mentah yang akan berlaku serentak pada Juni 2023 tanpa perlu merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). .
Kebijakan hilirisasi produk mineral mentah merupakan amanat Pasal 170A UU Minerba. Pasal tersebut mengatur ekspor produk mineral mentah paling lama tiga tahun setelah UU Mineral diundangkan.
“Kalaupun akan diterapkan setelah Juni 2023, perusahaan tetap diberikan akses ekspor tetapi akan ada tambahan pajak ekspor,” kata Eddy saat ditemui di Hotel AONE Jakarta, Senin (6/2).
Pengembangan Melter
Meski sudah mendekati masa larangan ekspor, beberapa perusahaan tambang masih belum bisa menyelesaikan pembangunan smelternya, salah satunya PT Freeport Indonesia. Pemberlakuan larangan ekspor mineral mentah di tengah minimnya penyerapan di dalam negeri dinilai mengancam keberlangsungan operasi perusahaan.
“Di PTFI ada 14 ribu pekerja. Bagaimana dengan para pekerja di sana, atau diberikan pengecualian lain atau perpanjangan waktu dengan syarat yang ketat,” kata Eddy.
Mayoritas keterlambatan pembangunan karena kondisi eksternal seperti pandemi Covid-19 dan situasi geopolitik global yang kurang stabil. Dia menilai pemerintah akan terbuka bagi perusahaan yang bermasalah dengan larangan ekspor namun tidak melakukan kegiatan hilirisasi langsung.
Lebih lanjut, kata Eddy, jika kemudian pemerintah mengeluarkan aturan pajak ekspor, pemerintah juga perlu memberikan aturan tegas terkait progres pembangunan smelter. Eddy mencontohkan, pemerintah bisa langsung menghentikan hak ekspor perusahaan jika batas waktu yang disepakati dengan pemerintah terlampaui.
“Misalnya akhir tahun ini progresnya harus 70%, ya harus 70%. Kalau tidak, ekspor harus dihentikan,” kata Eddy.