
Harga batu bara naik pada perdagangan Jumat (2/6) atau Sabtu (3/6) waktu Indonesia dari rekor terendah dalam hampir dua tahun. Meski demikian, pelaku pasar menilai tekanan terhadap komoditas mineral besi belum berakhir.
Harga batu bara di ICE Newcastle, Australia, salah satu harga acuan dunia, untuk kontrak Juli 2023 naik US$ 3,30 atau 2,52% menjadi US$ 134,15 per ton. Sedangkan kontrak Juni hanya naik 85 sen atau 0,65% menjadi US$ 131 per ton.
Salah satu penyebab kenaikan harga batu bara adalah permintaan impor dari Eropa, yang naik 14% hingga Mei 2023 dari rekor terendah selama sekitar 22 bulan di bulan April, menurut data komoditas Kpler.
Namun, data tersebut masih sekitar sepertiga dari hasil tahun lalu di tengah tingginya pasokan dan berkurangnya permintaan batu bara untuk pembangkit listrik di Benua Biru, bersamaan dengan pasokan gas alam yang kuat.
Sementara itu, China, salah satu konsumen batu bara terbesar dunia, baru saja memulai proyek penangkapan karbon untuk pembangkit listrik tenaga batu bara yang akan menjadi yang terbesar di Asia.
Proyek penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon (CCUS) akan dibangun di pembangkit listrik tenaga batu bara Taizhou, yang mampu menyerap sekitar 500.000 ton emisi karbon dioksida (CO2) per tahun.
Peluncuran proyek tersebut sejalan dengan kekhawatiran akan krisis energi akibat permintaan listrik yang terus meningkat, termasuk dari peningkatan penggunaan kendaraan listrik, yang dapat memaksa China untuk lebih mengandalkan batu bara untuk menjaga ketahanan energinya.
“Kekurangan energi kemungkinan akan muncul kembali karena percepatan transisi energi terus membebani jaringan energi,” kata seorang analis dari ANZ Group seperti dikutip Oilprice.com pada Sabtu (3/6).
Saat ini, China sedang membangun atau berencana membangun sekitar 366 gigawatt (GW) pembangkit listrik tenaga batu bara baru. Jumlah ini menyumbang hingga 68% dari total rencana pembangkit listrik batubara baru global hingga tahun 2022.
Sementara di luar China, kapasitas pembangkit berbahan bakar batu bara terus menyusut, sekitar 2,2 GW dihentikan di Eropa tahun lalu, dan sekitar 13,5 GW dihentikan di Amerika Serikat.
Impor batubara termal China tetap tinggi di bulan Mei, dengan Kpler memperkirakan kedatangan sebesar 28,24 juta ton, sedikit di bawah 28,42 juta di bulan April dan 28,40 juta di bulan Maret.
Perlu dicatat bahwa kinerja tiga bulan terakhir adalah yang terkuat dalam data Kpler sejak Januari 2017, dengan impor Mei 137% lebih tinggi dari bulan yang sama di tahun 2022.
China telah beralih ke batubara termal lintas laut untuk memenuhi permintaan listriknya yang terus meningkat, dengan pembangkit listrik termal menghasilkan 83 miliar kilowatt jam (kWh) lebih banyak dalam empat bulan pertama tahun ini, dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2022.
Sementara itu, India, importir batu bara terbesar kedua di dunia, juga telah meningkatkan pembelian, dengan perkiraan tingkat kedatangan Kpler pada bulan Mei sebesar 16,62 juta ton, naik dari 14,37 juta pada bulan April dan terbesar sejak Juli tahun lalu.
Impor didorong oleh cuaca yang lebih hangat dari biasanya dan pertumbuhan ekonomi yang kuat. Dengan harga yang lebih rendah, pembangkit listrik berbahan bakar batu bara yang menggunakan bahan bakar impor dapat menghasilkan keuntungan bahkan ketika dijual ke pasar listrik yang diatur di India.