
PT Trimegah Bangun Persada (TBH), bagian dari holding Harita Group, berencana meningkatkan kapasitas pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) bijih nikel limonit dengan membangun smelter baru di Pulau Obi, Halmahera Selatan.
Pabrik pengolahan tersebut sedang dalam tahap konstruksi dan ditargetkan beroperasi pada kuartal II 2024. Lokasi smelter tersebut berdekatan dengan smelter eksisting yang telah aktif sejak 2021.
Direktur TBH Utara, Roy Arfandy mengatakan, pengadaan kilang volume II ini merupakan proyek kerjasama dengan perusahaan China. Perseroan juga akan melakukan initial public offering (IPO) pada April tahun ini untuk menarik tambahan modal.
“Karena kami membutuhkan dana untuk menyelesaikan proyek ini sesuai jadwal. Kalau tidak cukup, kami juga akan meminjam ke bank. Besaran IPO belum bisa kami jelaskan,” kata Roy dalam diskusi Peningkatan Kapasitas Media di Bidang Pertambangan di Hotel Ashley, Jakarta pada Rabu (8/3).
Roy menambahkan, pabrik tersebut akan mengolah bijih nikel kadar rendah yaitu 0,8-1,5% menjadi campuran padat hidroksida dari nikel dan kobalt atau Mixed Hydroxide Precipitation (MHP) melalui teknologi High Pressure Acid Leaching atau hidrometalurgi HPAL.
Produk ini merupakan bahan baku utama untuk produksi nikel sulfat atau kobalt sulfat. Kedua produk antara tersebut merupakan bahan baku komponen baterai.
Ekspansi perseroan disebut akan menambah kapasitas produksi bijih nikel limonit menjadi 120 ribu ton per tahun dari kapasitas saat ini 60 ribu ton dari input 6 juta ton limonit.
Roy mengatakan produksi MHP serta nikel sulfat dan kobalt sulfat masih menyasar pasar ekspor, karena belum ada industri penyerap atau pabrik pengolahan prekursor lanjutan di dalam negeri. Prekursor adalah produk hilir yang dihasilkan dari campuran nikel sulfat, kobalt sulfat, dan mangan.
“Pabrik prekursor di dunia sebagian besar ada di China, jadi suka atau tidak suka, ujung-ujungnya kita ekspor nikel sulfat dan produksi kobalt sulfat,” kata Roy.
Di tengah tren pertumbuhan populasi kendaraan listrik, Roy mengatakan perseroan masih fokus pada produksi komoditas PLTMH, nikel sulfat dan kobalt sulfat. Perusahaan tidak memiliki rencana lebih lanjut untuk membangun pabrik produksi prekursor.
“Prekursor ini merupakan komponen untuk industri otomotif, terus terang kami tidak memiliki keahlian dan pengalaman di bidang prekursor. Karena teknologi ini sangat berbeda dengan teknologi pengembangan PLTMH,” kata Roy.
Sebelumnya, Kementerian ESDM menggunakan tarif royalti untuk bijih nikel atau limonit kadar rendah sebesar 2% dari harga pasar. Tarif tersebut jauh lebih rendah dibandingkan bijih nikel saprolit bermutu tinggi yang umumnya diolah menjadi feronikel sebagai bahan baku besi dan stainless steel.
Ini merupakan salah satu dari beberapa insentif di sektor hulu yang berorientasi pada pembuatan pabrik dan industri baterai listrik. Meskipun demikian, insentif royalti belum berdampak signifikan terhadap pembangunan pabrik bahan baku produksi baterai.
Staf Khusus Menteri ESDM Percepatan Pembangunan Industri Sektor ESDM, Agus Tjahjana mengatakan, bijih nikel limonit kadar rendah 0,8-1,5% merupakan bahan baku utama untuk memproduksi nikel sulfat atau kobalt sulfat. Kedua produk antara tersebut merupakan bahan baku komponen baterai.
Ketentuan mengenai tarif wajib Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
“Akibat mahalnya biaya pembuatan aki, murahnya bahan baku aki untuk pabrik,” kata Agus saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Selasa (7/3).