
Institute for Essential Service Reform atau IESR menyatakan ada 12 pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) dengan total kapasitas 4,5 gigawatt (GW) yang memenuhi syarat untuk target pensiun dini pada periode 2022 hingga 2023.
Sebagian besar PLTU ini merupakan pembangkit listrik subcritical yang masih menggunakan teknologi pemrosesan atau boiler yang dibuat pada pertengahan 1980-an-1990-an.
Catatan ini menjadi salah satu poin kajian IESR dengan University of Maryland, Amerika Serikat (AS) dalam laporan bertajuk “Evaluating Retirement Plans and Financial Needs for an Accelerated and Fair Phase Out of Coal Power in Indonesia.
Peneliti Senior IESR, Raditya Yudha Wiranegara menjelaskan, ruang lingkup kajian ini terbatas pada PLTU yang terkoneksi dengan jaringan nasional PLN. Secara umum, seluruh PLTU milik PLN dan pembangkit listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) berjumlah 72 unit dengan total kapasitas 43,4 GW.
“Dari analisis yang dilakukan, diketahui ada 12 PLTU yang dapat dipensiunkan dalam waktu dekat dalam kurun waktu 2022-2023 dengan kapasitas 4,5 GW,” ujar Raditya sebagai pembicara di Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) . ) 2022 pada Selasa (11/10).
Dari 12 PLTU tersebut mayoritas berada di Jawa dan sisanya di Sumatera dan Kalimantan. Berikut ini adalah daftar PLTU yang layak dihentikan atau dipensiunkan menurut versi IESR:
A. PLTU Jawa
1. PLTU Suralaya Banten 1.600 megawatt (MW)
2. PLTU Merak Banten 120 MW
3. PLTU Cilacap Jawa Tengah 600 MW
4. PLTU PLN Paiton Jawa Timur 800 MW
5. PLTU Babelan Cikarang Jawa Barat 280 MW
B. PLTU Sumatera
1. PLTU Bangka Baru Bangka Blitung 60 MW
2. PLTU Tarahan Lampung 100 MW
3. PLTU Ombilin Sumbar 280 MW
4. PLTU Bukit Asam Muara Enim Sumatera Selatan 260 MW
C. PLTU Kalimantan
1. PLTU Asam-asam Kalsel 260 MW
2. PLTU Tabalong Kalsel 200 MW
3. PLTU Tabalong Wisesa, Kalimantan Selatan 60 MW.
Puluhan PLTU yang berhak pensiun dini disusun dari analisis faktor ekonomi, sosial, dan lingkungan. Total faktor ekonomi yang dimaksud berupa biaya penonaktifan, hilangnya penerimaan negara dari batu bara, dan kompensasi pensiun dini bagi IPP.
Sedangkan faktor sosial dan lingkungan dihitung dari faktor kesehatan masyarakat, kompensasi atas hilangnya pendapatan dan pekerjaan serta tingkat kualitas udara dan air bersih.
Raditya menilai upaya penghentian operasional PLTU secara bertahap dapat mengatasi masalah kelebihan pasokan listrik sekaligus membuka peluang tersengat listrik dan energi terbarukan (EBT) masuk ke jaringan listrik PLN.
“Hal ini dapat membuka ruang bagi pembangkit energi terbarukan untuk masuk dan berintegrasi ke dalam sistem kelistrikan Indonesia,” ujar Raditya.
Berdasarkan catatan Kementerian ESDM pada Juni 2020, kapasitas pembangkit di Indonesia sebesar 70.964 MW dengan 63% atau 44,8 GW berlokasi di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari kapasitas pembangkit di Sumatera yang sebesar 14,7 GW di posisi nomor dua.
Indonesia memiliki enam jenis pembangkit listrik yang terdiri dari uap, gas, solar, panas bumi, air dan energi terbarukan. PLTU mendominasi kapasitas pembangkitan di Indonesia hingga 35,22 GW atau setara dengan 50% dari total kapasitas pembangkitan.