
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan ada 11 perusahaan batu bara yang sedang merintis pengembangan hilirisasi batu bara. Tiga di antaranya telah maju ke tahap produksi komersial.
Sementara itu, masih ada dua perusahaan yang masih dalam tahap persiapan konstruksi dan enam perusahaan sedang menyusun dokumen studi kelayakan. PT Megah Energi Khatulistiwa (MEK) merupakan salah satu dari tiga perusahaan yang telah melakukan produksi komersial komoditas batubara lanjutan tersebut.
Perusahaan yang berlokasi di Kampung Apung, Tanjung Selor, Kalimantan Utara ini memproduksi produk turunan batubara berupa semi coke untuk bahan bakar pabrik pengolahan atau peleburan mineral. Dalam setahun, PT MEK bisa memproduksi 600 ribu ton semi coke dari input 1 juta ton batu bara.
Selanjutnya, pengembangan produksi turunan briket dari PT Thriveni. Proyek yang kerap disebut briket coal upgrading ini dikerjakan di area perusahaan yang berlokasi di Banyuasin, Sumatera Selatan. Proyek ini mampu memproduksi 79 ribu – 85 ribu ton briket dari pengolahan 130 ribu ton batu bara.
Pengolahan produk batu bara lanjutan juga diterapkan oleh perusahaan tambang milik negara, PT Bukit Asam (PTBA). Sama seperti PT Thriveni, PTBA juga memproduksi produk turunan batubara berupa briket di dua lokasi pengolahan di Sumatera.
Satu lokasi di Tanjung Enim, Sumatera Selatan dengan produksi tahunan hingga 10 ribu – 20 ribu ton briket dari 40 ribu ton input batubara olahan. Sedangkan pabrik pengolahan briket di Tarahan, Lampung, mampu memproduksi 7.000 ton briket per tahun dari mengolah 12 ribu ton batu bara.
Selain itu, PTBA juga sedang dalam persiapan konstruksi untuk membangun industri gasifikasi batubara menjadi Dimethyl Ether atau DME di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
Proyek senilai US$ 2,3 miliar atau sekitar Rp 34,04 triliun itu akan menggunakan enam juta ton batu bara kalori rendah 4.200 per tahun untuk diolah menjadi DME. Mengolah enam juta ton batu bara dapat menghasilkan 1,4 juta ton DME. Proyek ini diharapkan mulai berproduksi pada kuartal kedua tahun 2025.
Selain itu, pabrik tersebut juga akan memproduksi Methanol sebanyak 2,1 juta ton per tahun dan Syngas atau gas sintetis sebesar 4,5 juta kN/m3 per tahun. Gas sintetis adalah campuran bahan bakar gas yang terdiri dari hidrogen, karbon monoksida, dan karbon dioksida.
Gas alam sintetik ini umumnya digunakan untuk menghasilkan amoniak atau methanol yang digunakan sebagai bahan baku industri kimia seperti pupuk dan petrokimia, listrik dan gas kota.
PT Kaltim Prima Coal dan PT Kaltim Nusantara Coal juga sedang membangun pabrik pengolahan batubara untuk memproduksi 1,8 juta ton metanol per tahun dari batubara kalori rendah yaitu 4.200 kcal per kilogram sebesar 5-6,5 juta ton. Pabrik yang berlokasi di Bengalon, Kalimantan Timur itu ditargetkan selesai pada kuartal II 2025.
Sedangkan enam perusahaan yang sedang menyiapkan dokumen studi kelayakan hilirisasi batubara adalah PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, dan PT Multi Harapan Utama. Lalu ada PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung dan PT Berau Coal.
Sedangkan PT Arutmin berencana mengolah batu bara menjadi metanol melalui input emas hitam sebanyak 6 juta ton per tahun untuk menghasilkan 2,8 juta ton metanol. Proyek yang berlokasi di Indonesian Bulk Terminal (IBT) di Pulau Laut, Kalimantan Selatan ini ditargetkan selesai pada 2025.
Sebelumnya diberitakan, pemerintah akan memberikan insentif berupa iuran produksi atau royalti 0% kepada perusahaan tambang yang bergerak di hilir batu bara. Peraturan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perppu Ciptaker.
Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 128A Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Lapangan Kerja atau Perppu Ciptaker yang dikukuhkan Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022.
Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Percepatan Pengelolaan Mineral dan Batubara (Minerba), Irwandy Arif mengatakan, insentif royalti 0% hanya berlaku untuk batu bara yang masuk ke pabrik pengolahan.
“Misalnya, kalau satu perusahaan memproduksi 25 juta ton, 6 juta ton digunakan di hilir. Maka royalti 0% adalah 6 juta ton. Dari segi jumlah tidak terlalu banyak,” ujar Irwandy dalam acara CNBC Mining Zone, Rabu (4/1).