
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut masih banyak tambang batu bara ilegal yang mampu eksis selama bertahun-tahun karena “melatih” perusahaan tambang legal. Sistem pengawasan yang dibangun pemerintah saat ini juga disebut belum mampu mengatasi masalah ini.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwarta mengatakan sudah ada kerjasama antar lembaga untuk mengawasi sektor pertambangan batubara melalui platform SIMBARA. Namun, dia mengakui sistem yang dibangun Kementerian Keuangan, KPK, dan Kementerian ESDM belum mampu menyelesaikan masalah penambangan liar.
“Dari pantauan yang kami lakukan, masih banyak terjadi penambangan liar dan permainannya sangat indah. Sepertinya tidak mungkin aparat tidak tahu karena tambang batu bara itu bukan sehari, seminggu atau sebulan, tapi event tahunan,” ujarnya dalam acara Hakordia Commemorative Summit Kementerian Keuangan Tahun 2022, Selasa (13/12). .
Para penambang liar ini tetap eksis karena ‘membonceng’ perusahaan yang sah. Meski tidak memiliki izin usaha pertambangan (IUP), penambang liar masih bisa menjual hasil tambangnya melalui perusahaan yang sudah memiliki IUP.
Perusahaan bersertifikat membeli batubara dari tambang ilegal yang kemudian dijual kembali, termasuk untuk ekspor. Alhasil, meski digali dari tambang ilegal, batu bara tersebut masih bisa terlihat bersertifikat ‘halal’ karena diekspor oleh perusahaan berizin.
“Hal seperti ini yang tidak bisa kita awasi dengan baik, semua masuk ke dalam sistem SIMBARA tapi kita tidak bisa menata ranjau liar,” kata Alexander.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan ada lebih dari 2.700 Pertambangan Tanpa Izin (PETI) atau penambangan liar yang tersebar di seluruh tanah air. Dari jumlah tersebut, batubara PETI berada di 96 lokasi dan mineral PETI di sekitar 2.645 lokasi. Lokasi PETI terbanyak terdapat di Sumatera Selatan.
Masalahnya juga ada di sektor kelapa sawit. Alexander mengatakan, pihaknya telah bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan untuk memetakan potensi perpajakan perkebunan kelapa sawit.
Temuan studi menunjukkan adanya perbedaan data luas lahan sawit berdasarkan HGU yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan data milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Di sana banyak potensi pajak yang bisa digali,” kata Alexander.