
Pada KTT BNEF, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan pembangunan super grid menjadi kunci bagi Indonesia untuk mencapai emisi nol karbon, di sektor ketenagalistrikan.
Targetnya pada tahun 2060 Indonesia akan memiliki perpaduan pembangkit dari berbagai sumber energi, dengan fokus utama energi baru dan terbarukan (EBT).
Secara nasional, pada tahun 2060 Indonesia menargetkan kapasitas pembangkit listrik EBT mencapai 708 gigawatt (GW). Perinciannya, sebanyak 60 GW berasal dari bioenergi, 22 GW dari panas bumi, 72 GW dari pembangkit listrik tenaga air, 421 GW dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Kemudian, 94 GW dari pembangkit listrik tenaga angin (PLTB), 8 GW dari energi arus laut, dan 31 GW dari energi nuklir.
Dari peta super grid yang disampaikan Menteri ESDM, kapasitas terbesar ada di provinsi Sumatera, dengan target 150 kV pada 2022 dan 500 kV pada 2030. Besarnya daya di Sumatera karena super grid bertujuan untuk mendukung jaringan listrik ASEAN, atau jaringan listrik ASEAN.
Kemudian 150 kV untuk sambungan Kalimantan yang ditargetkan selesai pada 2023. Lalu 150 kV untuk sambungan di utara dan selatan Sulawesi yang ditargetkan selesai pada 2024.
“Untuk sambungan 150 kV Bali-Lombok yang direncanakan, masih diperlukan kajian lebih lanjut, terkait sambungan Jawa-Nusa Tenggara,” kata Arifin.
Sementara untuk jaringan Jawa, Madura, dan Bali, Menteri ESDM mengatakan pembangkit yang akan mendominasi ke depan adalah PLTS dengan total kapasitas 109 GW, disusul PLTB berkapasitas 40 GW. .
Padahal, rencana penyambungan sistem kelistrikan antar pulau di Indonesia sudah lama didengungkan, melalui konsep Nusantara Super Grid. Namun, proyek ini membutuhkan investasi besar.
Kajian IESR bertajuk “Deep Decarbonization of Indonesia Energy System” menyebutkan untuk membangun interkoneksi antar pulau tersebut dibutuhkan investasi sekitar US$ 100 miliar atau lebih dari Rp 1.450 triliun pada tahun 2050.