
Komisi VII DPR meminta pemerintah melarang pelaku industri membangun pembangkit listrik mandiri. Hal ini dimaksudkan agar pihak swasta dapat menyerap listrik dari excess supply atau kelebihan pasokan PLN.
Anggota Komisi Energi Ramson Siagian mengatakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bisa ngotot untuk tidak memberikan izin operasi kepada perusahaan yang membangun pembangkit listrik mandiri. Menurutnya, saat ini terdapat sekitar 5.000 megawatt (MW) pembangkit listrik yang dibangun secara mandiri oleh pelaku usaha.
“Penyediaan tenaga listrik untuk masyarakat dilakukan oleh PLN. Kementerian ESDM tidak bisa memberikan izin operasi industri sehingga tidak ada yang membangun pembangkit sendiri, tetapi membeli dari PLN. Ini sesuai UU Ketenagalistrikan. kata Ramson di Energy Corner CNBC. , Senin (26/9).
Agar imbauan tersebut dipatuhi pelaku usaha, Ramson berharap PLN dapat memperbaiki sistem jaringan distribusi agar pasokan listrik yang mengalir tidak terputus atau padam.
“Kenapa banyak industri membangun pembangkit sendiri? Karena kadang mati listrik. Itu yang repot, itu yang PLN benahi, sistem jaringan distribusinya,” lanjutnya.
Lebih Relevan Daripada Konversi Kompor Listrik
Politisi Partai Gerakan Indonesia Agung itu menilai ketegasan pemerintah dalam memastikan penyerapan listrik oleh pelaku usaha lebih relevan ketimbang program penggantian kompor LPG seberat 3 kilogram (kg) menjadi kompor listrik induksi 450 Volt Ampere (VA) dan 900 Volt. Pelanggan PLN subsidi listrik VA. .
“Menjamin ketersediaan listrik PLN untuk industri sehingga tidak membangun pembangkit sendiri akan menyerap kebutuhan listrik yang cukup besar ketimbang memaksakan penggunaan listrik pada rakyat biasa,” kata Ramson.
Dalam forum yang sama, Anggota Dewan Energi Nasional atau DEN, Satya Widya Yudha mengatakan, pihaknya bersama pemerintah dan PLN terus berupaya mengatasi kelebihan pasokan listrik, salah satunya dengan melistriki aspek kelistrikan. kendaraan dan kompor listrik atau induksi.
Satya juga mengatakan saat ini PLN mengalami kelebihan pasokan listrik atau excess supply hingga 6-7 gigawatt (GW) untuk jangkauan di seluruh Indonesia. Menurut Sayta, situasi kelebihan pasokan disebabkan adanya skema ‘Take or Pay’ dalam sistem pengadaan listrik di PLN.
Skema take or pay adalah PLN diwajibkan membayar kontrak listrik dari perusahaan listrik swasta atau Independent Power Producers (IPP) meskipun listrik yang dihasilkan tidak digunakan. “Listrik dipakai atau tidak, harus bayar. Ini dilema, sebagai perusahaan, PLN rugi,” kata Sayta.
Satya menjelaskan kelebihan pasokan listrik PLN berawal dari ambisi pemerintah untuk membangun beberapa pembangkit listrik dengan total kapasitas 35.000 megawatt (MW) dengan harapan pasokan listrik bisa terserap 6,6% per tahun.
Namun asumsi tersebut tidak terpenuhi dan dilanjutkannya pembangunan pembangkit mengakibatkan surplus listrik sebesar 35%.
“Karena sudah dibangun ada surplus sekitar 35% dan ternyata daya serapnya rendah karena kita dilanda pandemi dan otomatis sektor industri masih belum bisa menghasilkan listrik yang banyak,” jelas Satya. .
PLN saat ini mengalami surplus listrik yang besar. Direktur PLN Darmawan Prasodjo pernah menjelaskan, di Pulau Jawa tahun depan akan ada tambahan pasokan sebesar 6.800 megawatt (MW). Sedangkan kebutuhan tambahan hanya 800 MW.
Untuk Sumatera selama 3 tahun sampai 2025, tambahan kebutuhan listrik 1,5 GW. Sedangkan penambahan kapasitas 5 GW. Kalimantan dan Sulawesi Selatan juga mengalami hal yang sama.
“Kelistrikan Indonesia saat ini sedang mengalami kelebihan pasokan (oversupply). Tahun ini ada sekitar 6,7 GW. Ini adalah kelebihan energi dari sumber energi batu bara dan gas, termasuk EBT (new, renewable energy) yang diproduksi di dalam negeri,” kata Damawan dalam pertemuan di DPR, Juni lalu.
Guna meningkatkan kebutuhan listrik, PLN antara lain menyiapkan strategi peluncuran konversi kompor LPG 15 juta menjadi kompor listrik induksi dengan daya 1.000 watt. Dalam pilot project tahun ini, PLN akan memberikan kompor listrik kepada 300 ribu keluarga penerima bantuan.