
Kementerian ESDM belum memberikan kepastian terkait rencana pelarangan ekspor konsentrat tembaga menjelang penghentian ekspor mineral mentah secara serentak pada Juni 2023.
Dirjen Mineral dan Batubara Ridwan Djamaluddin mengatakan, komoditas konsentrat tembaga merupakan mineral strategis sehingga keputusan moratorium barang tambang belum selesai.
“Nanti diputuskan pimpinan karena ini masalah yang agak strategis, jadi jangan sampai level saya saja,” kata Ridwan saat ditemui di Kantor Kementerian BUMN, Selasa (21/3).
Ridwan juga menolak untuk memberikan informasi lebih lanjut tentang potensi pelonggaran larangan ekspor konsentrat tembaga menyusul langkah PT Freeport Indonesia yang mengajukan 2,3 juta ton ekspor konsentrat tembaga dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKAB) tahun ini. “Belum ada keputusan tentang masalah ini,” katanya.
Di sisi lain, Ridwan mengatakan pelarangan ekspor bauksit pada Juni akan diberlakukan meski ada delapan smelter yang capaian pembangunannya masih mengkhawatirkan.
Delapan kilang itu milik PT Borneo Alumina Indonesia dengan progres proyek 23,67%, PT Dinamika Sejahtera Mandiri 58,55%, PT Persada Pratama Cemerlang 52,61%, dan PT Sumber Bumi Marau 50,05%.
Selain itu, ada juga laporan dari PT Quality Sukses Sejahtera yang menyebutkan progres pembangunan pabrik refinery sudah mencapai progres 57,20%, PT Parenggean Makmur Sejahtera 58,13%, PT Kalbar Bumi Perkasa 37,25%, PT Laman Mining 32,39%.
Kedelapan kilang tersebut diperkirakan mampu mengolah 23,88 juta ton bijih bauksit menjadi 8,98 juta ton alumina per tahun.
Meski ada delapan smelter yang pembangunannya belum selesai Juni 2023, pemerintah tetap berupaya menghentikan ekspor bauksit untuk mendorong hilirisasi alumina dan aluminium di dalam negeri.
“Sepertinya harus ada sikap tegas. Mereka sebenarnya sudah tahu konsekuensinya sejak awal. Jadi kami mendorong yang serius berusaha menyelesaikannya,” kata Ridwan.