
Pemerintah sedang menyiapkan program hilirisasi bauksit. Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mulyanto mendesak pemerintah agar program bauksit tidak otomatis menjiplak hilirisasi nikel.
Mulyanto menilai pemerintah terlalu banyak memberikan insentif untuk pelaksanaan hilirisasi nikel. Insentif yang sama yang diberikan pada program bauksit bisa menggerus penerimaan negara.
Pemerintah menghujani program hilirisasi nikel dengan berbagai insentif seperti pembebasan PPh badan, PPN, dan bea keluar.
“Jangan asal menjiplak program hilirisasi nikel, agar program hilirisasi bauksit tidak tanggung-tanggung dan tidak menggerus potensi pendapatan negara, serta tidak dikuasai oleh satu negara saja,” kata Mulyanto dalam siaran pers yang dikutip, Kamis ( 22). /12).
Mulyanto menilai berbagai insentif yang diberikan pemerintah untuk hilirisasi nikel tidak sebanding karena produk akhir yang kemudian diekspor adalah nickel pig iron (NPI) dan feronikel dengan kandungan nikel rendah masing-masing di bawah 4% dan 7%.
“Produk dengan nilai tambah rendah ini hanya sedikit berbeda dengan bijih nikel. Oleh karena itu, pemerintah perlu merumuskan strategi dan tahapan hilirisasi bauksit yang tepat,” ujar Mulyanto.
Dia menilai proyek hilirisasi nikel memang meningkatkan nilai ekspor, namun nilai ekspornya minim terhadap penerimaan negara.
Sekitar 90% rantai pasok hilir nikel dari smelter dan tujuan ekspor dikendalikan oleh China sebagai satu angka. Selain itu, dia menilai banyak TKA yang diduga sebagai unskilled labor. “Jadi kesan hilirisasi nikel kita subordinat industrialisasi di China sangat jelas,” ujarnya.
Mulyanto meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengevaluasi hilirisasi nikel secara komprehensif sebelum pemerintah beralih ke program bauksit. Hal ini menurutnya penting dilakukan agar berbagai insentif baik fiskal maupun nonfiskal yang dikeluarkan pemerintah benar-benar efektif dan efisien, serta tidak menggerus potensi penerimaan keuangan negara yang berlebihan.
Hal senada disampaikan Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I). Mereka menganggap larangan ekspor bauksit tidak boleh disamakan dengan proyek hilirisasi nikel.
Pj Ketua Harian APB3I Ronald Sulistyanto mendorong DPR mengkaji roadmap hilirisasi bahan baku bauksit sebagaimana tertuang dalam UU Minerba No. 3 Tahun 2020. “Jumlah nikel hilir 3 tahun 2020 berbeda dengan bauksit yang tunggal dalam aluminium,” kata Ronald saat dihubungi melalui telepon, Kamis (22/12).
Lebih lanjut, kata Ronald, kebijakan pelarangan ekspor bauksit mentah pada pertengahan tahun depan tidak akan diimbangi dengan akuisisi pabrik pengolahan atau peleburan mineral. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan pasokan bijih bauksit yang tidak dapat diolah.
Ronald mengatakan, fasilitas pemurnian smelter dalam negeri tidak cukup untuk mengolah seluruh produksi bijih bauksit yang ada. Menurut catatan APB31, terdapat 28 perusahaan yang aktif dalam kegiatan penambangan bijih bauksit dengan pencapaian produksi rata-rata 2 juta ton per tahun. “Produksinya sama setiap tahun,” katanya.
Kondisi pasokan bijih bauksit yang tidak terserap dinilai menimbulkan kerugian ganda. Pasalnya, para pebisnis menghabiskan rata-rata US$ 1,2 miliar atau setara Rp 18,6 triliun per tahun untuk modal. Pembiayaan ini biasanya digunakan untuk mengolah 6 juta ton bijih bauksit menjadi 2 juta ton alumina per tahun. “Masalahnya ada di penyerapan. Kalau terhambat, banyak yang menganggur karena berhenti berproduksi,” kata Ronald.
Sejauh ini, pemerintah mengatakan hanya ada empat smelter bauksit dengan kapasitas pengolahan alumina tahunan hingga 4,3 juta ton. Kementerian ESDM menargetkan tambahan 9 smelter bauksit beroperasi pada 2023.
Menurut Ronald, target pemerintah untuk bisa membangun 9 smelter bijih bauksit cukup sulit dicapai. Selain kebutuhan dana yang tinggi, sumber pembiayaan atau pinjaman untuk pembangunan smelter bijih bauksit juga sulit.
“Pendanaan susah. Yang punya pemerintah belum siap, apalagi swasta. Rata-rata masih 23%, 25%. Mungkin hanya ANTAM yang bisa menyelesaikannya,” ujar Ronald.