
PT PLN meminta aturan khusus berupa pemberlakuan domestic market obligation (DMO) untuk pendistribusian biomassa sebagai campuran atau co-firing pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PLN. Pasalnya, mayoritas produsen biomassa dalam negeri lebih memilih menjual produknya ke pasar ekspor karena penawaran harga yang lebih menguntungkan.
Corporate Secretary PLN Primary Energy Indonesia (EPI) Mamit Setiawan menjelaskan, saat ini biomassa untuk pembangkit listrik hanya sebatas harga patokan tertinggi atau HPT. Saat ini, HPT batu bara untuk PLN sebesar US$ 70 per ton dengan nilai kalori 6.300 kkal per kilogram (kg).
Angka ini bisa berubah sedikit karena kandungan kalori biomassa disamakan dengan kandungan kalori batubara. Sedangkan batas atas harga batu bara kalori rendah yakni 4.300-4.600 kkal per kilogram ditetapkan US$ 51 per ton.
Mekanisme penetapan DMO untuk co-firing PLTU mereplikasi ketentuan yang sebelumnya digunakan untuk pengadaan batubara bagi PLN dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) industri. Melalui Keputusan Menteri ESDM No. 139 Tahun 2021, pemerintah mewajibkan pelaku usaha batubara dalam negeri memenuhi kuota penjualan dalam negeri sebesar 25% dari produksi tahunan untuk ketenagalistrikan umum dan industri.
“Karena harga pasar ekspor jauh lebih baik dari harga domestik, dengan dukungan penyerapan dalam negeri belum tentu 25%, diharapkan bisa memenuhi target co-firing PLN,” ujarnya saat berbicara di Media Kementerian ESDM. Silaturahmi di Courtyard Marriott Bandung pada Sabtu (20/5).
Mamit menjelaskan, pengenaan DMO pada pasokan co-combustion PLTU dapat berkontribusi pada pengurangan konsumsi batubara di PLTU PLN. Serapan penggunaan biomassa untuk PLTU co-fired adalah 220.000 ton pada kuartal I 2023. Jumlah tersebut setara dengan 20% kebutuhan biomassa untuk 34 PLTU batubara tahun ini sebesar 1,08 juta ton.
“Tanpa dukungan dari pemerintah, upaya PLN cukup besar,” kata Mamit.
Pemanfaatan biomassa sebagai campuran bahan bakar pembangkit listrik berbahan bakar batubara dinilai kurang optimal karena ketersediaan bahan baku yang terbatas. Selama ini pasokan biomassa umumnya masih berasal dari produk sampingan. Padahal, menurut Mamit, bahan baku biomassa idealnya berasal dari hasil hutan primer seperti pohon Kaliandra, Gamal, dan Jati Putih.
Melalui mekanisme DMO, perseroan berharap mendapat jaminan pasokan biomassa di sektor hulu, hingga PLN dianggap sebagai pembeli seluruh bahan baku atau offtaker di sektor hilir.
Produsen biomassa melihat harga tinggi di pasar luar negeri membuat mayoritas pengusaha lebih tertarik untuk mengekspor produknya, daripada menjualnya ke PLN sebagai campuran PLTU batu bara atau co-firing.
Perbedaan harga
Ketua Asosiasi Energi Biomassa Indonesia (MEBI), Milton Pakpahan mengatakan, tipikal harga ekspor biomassa di pasar internasional berkisar antara US$110 hingga US$120 per ton. Harga tersebut belum termasuk pajak dan biaya yang akan menjadi penerimaan negara sebesar US$ 20 per ton.
Milton menjelaskan, komoditas biomassa berupa cangkang sawit untuk co-combustion dengan nilai kalor setara batu bara 3.000 hingga 4.000 kkal per kilogram berada pada level Rp 500 hingga Rp 1.000 per kilogram. Belum ada regulasi penjualan biomassa untuk pasar PLTU PLN co-firing domestik.
“Perbandingan harga untuk ekspor dan co-firing bisa dua banding satu. Ini menjawab mengapa pemilik biomassa memilih ekspor,” kata Milton melalui pesan singkat, Jumat (5/5).
Sementara itu, Kementerian ESDM sedang menyiapkan draf Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang Pemanfaatan Biomassa Sebagai Bahan Bakar Campuran Pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap. Peraturan ini akan menjadi acuan dalam pemanfaatan biomassa untuk co-fired coal untuk PLTU.