
Perusahaan pertambangan milik negara PT Bukit Asam atau PTBA tidak memberikan kepastian terkait kelanjutan pengambilalihan PLTU atau PLTU Pelabuhan Ratu sebagai bagian dari upaya pensiun dini.
Direktur Utama PTBA, Arsal Ismail mengatakan, sejauh ini perseroan masih berupaya melakukan proses due diligence dengan PLN. “Nanti kami komunikasikan dengan PLN dan pihak terkait,” kata Arsal saat ditemui di Gedung Nusantara I DPR, Selasa (12/6).
Disinggung soal kelanjutan akuisisi aset PLTU Pelabuhan Ratu dari PLN, Arsal mengatakan, perseroan masih perlu melakukan studi kelayakan sebelum mengakuisisi PLTU berkapasitas 3 x 350 megawatt. “Nanti kami akan melakukan riset dulu,” kata Arsal.
PTBA telah menandatangani kesepakatan untuk mengambil alih saham mayoritas PLTU Pelabuhan Ratu senilai US$ 800 juta atau Rp 12 triliun. Hal tersebut disepakati dalam bentuk major framework agreement pada acara Media Conference BUMN Conference pada pertengahan Oktober lalu.
Rencananya, PTBA dan anak usaha PLN PT PLN Indonesia Power akan membentuk anak usaha untuk mengelola PLTU Pelabuhan Ratu. Mayoritas saham akan dimiliki PTBA, meski belum ditentukan jumlahnya.
Wakil Menteri BUMN Pahala Mansury mengatakan kerja sama kedua BUMN itu bertujuan agar PLTU Pelabuhan Ratu bisa lebih cepat dipensiunkan. PTBA selanjutnya akan mengambil alih mayoritas saham PLTU Pelabuhan Ratu.
“Ini model keseriusan BUMN, memastikan kita siap memasuki transisi energi,” kata Pahala.
Sedangkan akuisisi PLTU Pelabuhan Ratu menuai kritik karena tidak menjamin pensiun atau pensiun bertahap. Kepala Center for Food, Energy and Sustainable Development Institute for Economic and Financial Development (INDEF), Abra Talattov menilai pengalihan aset juga berpotensi melepaskan kendali PLN dalam menentukan perjanjian jual beli listrik (PPA) dengan listrik swasta. developer.
Pengalihan aset PLTU tersebut membuat PLN tidak dapat lagi melakukan intervensi PPA yang dapat berdampak pada peningkatan biaya penyediaan tenaga listrik (BPP). “Yang dikhawatirkan ini akan menjadi serangan balasan bagi PLN karena tidak lagi memiliki kendali atas kontak dan BPP,” kata Abra saat dihubungi Katadata.co.id, Kamis (20/10).
Abra melanjutkan, dampaknya akan negatif jika kontrak PPA mengatur pembelian tenaga listrik dengan mekanisme take or pay, antara PLN dengan perusahaan listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP). Dalam skema take-or-pay, PLN diwajibkan membayar kontrak listrik dari IPP meskipun listrik yang dihasilkan tidak digunakan.
“Ini akan menjadi potensi tambahan beban bagi PLN dan tidak ada jaminan PLTU akan dipangkas dari 24 tahun menjadi 15 tahun,” ujarnya.