
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor produk hilir bijih nikel olahan mencapai 81 ribu ton dengan nilai penjualan US$ 654,5 juta atau sekitar Rp 9,9 triliun sepanjang Januari 2023.
Komoditas yang diolah terkonsentrasi pada produk HS 7501 yang terdiri dari nikel matte, oksida nikel sinter dan produk antara dari metalurgi nikel.
China merupakan negara tujuan ekspor terbesar dengan total pengapalan sebesar 69,5 ribu ton atau 85,8%. Jumlah ini menyumbang nilai transaksi sebesar US$ 467,7 juta atau sekitar Rp 7,1 triliun.
Jepang menjadi pembeli terbesar berikutnya dengan pengiriman 6,6 ribu metrik ton senilai US$ 119,5 juta atau sekitar Rp 1,8 triliun. Selanjutnya, Norwegia dengan total ekspor 4,7 ribu ton senilai US$ 67,2 triliun atau diperkirakan Rp 1 triliun.
Nikel matte adalah produk olahan bijih nikel saprolit kadar tinggi 1,5% hingga 3% yang dimurnikan dalam peleburan dengan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF).
Komoditi besi dan stainless steel merupakan produk lanjutan dari pengolahan nickel matte. Sedangkan nickel oxide sinter merupakan komoditas antara yang digunakan untuk memproduksi alloy steel atau baja paduan.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat ekspor Feronikel dan Nickel Pig Iron atau NPI sepanjang 2022 sebanyak 5,8 juta ton.
Hilirisasi bijih nikel akan menjadi modal utama bahan baku untuk membuat produk olahan lebih lanjut berupa stainless steel sheet dan hot rolled stainless steel (HR). Produk NPI juga merupakan bahan baku pembuatan besi dan stainless steel.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan pemerintah membutuhkan investasi sebesar Rp 15 triliun untuk membangun pabrik pembuatan lembaran stainless steel berkapasitas 1,07 juta ton per tahun.
Langkah tersebut dinilai sebagai kewajiban mendasar di tengah program hilirisasi komoditas mineral yang akan berjalan serentak pada pertengahan 2023.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu menyediakan biaya investasi hingga Rp 8,5 triliun untuk membangun smelter guna mengolah produk lanjutan HR stainless steel dengan kapasitas produksi 1,07 juta ton per tahun.
“Nikel dan konsentrat sudah dilarang ekspor, sehingga potensi hilirisasinya dimulai dari feronikel dan NPI sebesar 5,8 juta ton,” kata Agus dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi VII DPR, Selasa (14/2).
Menurut catatan Kemenperin per Februari 2023, terdapat 91 unit pabrik pengolahan mineral di Tanah Air, dengan rincian 48 smelter eksisting dan 43 smelter masih dalam tahap studi kelayakan dan konstruksi.
Smelter yang beroperasi didominasi oleh smelter nikel sebanyak 36 unit, 6 smelter baja, 2 smelter tembaga, dan 4 smelter aluminium.
Rata-rata kapasitas produksi smelter tersebut per tahun sekitar 262 ribu ton per unit dan smelter baja tersebut memiliki kapasitas produksi 1,6 juta ton per tahun. Selanjutnya, smelter tembaga berkapasitas 150 ribu ton per tahun dan smelter aluminium berkapasitas 544 ribu ton per tahun.
“Kementerian Perindustrian berkonsentrasi pada lima komoditas hilir, yaitu industri berbasis bijih tembaga, bijih besi dan pasir besi, bijih nikel, dan industri bauksit,” kata Agus.