
PLN saat ini mengalami kelebihan pasokan listrik sekitar 6 gigawatt (GW). Dengan skema take or pay yang berlaku bagi produsen listrik swasta atau Independent Power Producers (IPP), PLN terpaksa membayar kelebihan pasokan listrik meski tidak terserap oleh masyarakat dan dunia usaha.
Kepala Banggar DPR RI Said Abdullah dalam rapat Panja RAPBN 2023 mengatakan kelebihan pasokan listrik membebani keuangan negara. Pemerintah tetap membayar kompensasi kepada PLN meskipun kelebihan pasokan tidak digunakan.
Said mengatakan pemerintah akan menanggung Rp 3 triliun untuk setiap 1 GW kelebihan pasokan listrik. Sehingga dengan kelebihan pasokan 6 GW, pemerintah akan menanggung biaya hingga Rp 18 triliun.
“Bayangkan 1 giga, karena kontrak take or pay harus bayar Rp 3 triliun, karena per 1 giga (pengeluaran) Rp 3 triliun,” ujar Said suatu ketika.
Pasokan listrik di tahun-tahun mendatang bisa meningkat lagi dengan munculnya energi baru dan terbarukan (EBT). Dia memperkirakan jika EBT diterapkan, pada 2030 PLN akan mengalami kelebihan pasokan hingga 41 GW.
Sejarah Implementasi Skema Take or Pay PLN dan Kontrak Jual Beli Listrik IPP
Seperti namanya, take or pay artinya “ambil atau bayar denda”. Artinya, PLN harus menyerap tenaga listrik yang dihasilkan IPP sesuai kontrak power purchase agreement (PPA) berdasarkan faktor ketersediaan (AF) atau faktor ketersediaan, dan atau faktor kapasitas (CF) atau faktor kapasitas. Jika tidak, PLN harus membayar denda atau penalti.
Namun perjanjian jual beli ini tidak hanya berlaku untuk take or pay, tetapi juga penyerahan atau pembayaran dari IPP. Artinya, jika IPP tidak mengalirkan listrik sesuai AF/CF, maka harus membayar penalti atau denda kepada PLN.
Hal inilah yang membebani keuangan PLN karena pasokan listrik tidak terserap konsumsi. Berdasarkan data Kementerian ESDM, surplus listrik ini sudah terjadi cukup lama sejak 2011 dan berpotensi lebih jauh lagi karena datanya hanya tersedia sampai tahun itu.
Menurut Manajer Program Transformasi Energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo, kerugian dari skema take-or-pay tidak hanya dari sisi ekonomi tetapi juga dari sisi lingkungan.
Menurutnya, skema take or pay diambil PLN akibat krisis ekonomi 1998 yang juga menyebabkan krisis produksi listrik karena PLN kesulitan membangun pembangkit baru karena tidak punya uang karena kontrak dalam dolar AS menjadi lebih mahal. karena anjloknya nilai rupiah dan sebagainya.
“Kebijakan take or pay untuk menarik investor dan pembangkit listrik mandiri untuk membangun pembangkit dan membantu suplai listrik ke PLN,” ujarnya dalam Podcast on the Table bertema “Take or Pay: Kebijakan Terjaga (PLN), Meski Sering Merugikan yang diunggah di kanal YouTube Indonesia Corruption Watch pada 12 April 2022.
Meskipun pertumbuhan kebutuhan listrik pada awal krisis melambat, pada tahun 2004 dan seterusnya sudah mulai pulih dan meningkat.
“Untuk menarik minat swasta membangun pembangkit listrik, skema yang ditawarkan adalah take or pay. Seperti ada jaminan dari negara untuk membeli listrik sehingga yang ingin menjual listrik lebih tertarik,” ujarnya.
Ia menjelaskan skema take or pay diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No. 10 Tahun 2017 yang direvisi menjadi Peraturan Menteri ESDM No. 10 Tahun 2018 yang mengatur Pokok-Pokok Perjanjian Jual Beli Energi. .
Sebelumnya, General Manager Asosiasi Tenaga Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa mengatakan pengambilan atau pembayaran listrik menggunakan kontrak jangka panjang, bahkan hingga 30 tahun, merupakan kontrak dari IPP generasi pertama pada 1992.