
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengatakan, rencana pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) batubara untuk mengumpulkan pembayaran batubara menghadapi beberapa kendala. Meski pada awalnya BLU Batubara ditargetkan beroperasi pada awal 2023.
Asosiasi Pemasok Batubara dan Energi Indonesia (Aspebindo) menyayangkan sikap pemerintah yang tidak menerapkan pungutan ekspor batu bara melalui BLU batu bara.
Aspebindo mengatakan, penundaan penerapan BLU tersebut karena adanya ketegangan antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dengan Kementerian ESDM terkait sebagai pihak yang merumuskan aturan teknis dan regulasi ekspor. pungutan dan paling berpengaruh dalam mewujudkan pelaksanaan BLU.
“Kemarin kami menginginkan BLU yang sudah ada, yaitu Lemigas. Sekarang tinggal hal-hal teknis yang perlu diatur,” kata Anggawira saat ditemui di Menara Bank Mega, Tendean, Jakarta Selatan, Senin (9/1).
Persetujuan BLU awal tahun ini dinilai mendesak mengingat tingginya harga komoditas batu bara. Aggwira mengatakan penerapan BLU berdampak positif dalam menjaga keseimbangan harga dan pasokan batu bara yang dijual di dalam negeri dan luar negeri.
“Artinya akan ada keseimbangan harga, baik yang dijual di dalam negeri maupun di luar negeri. Dengan BLU mereka akan saling mensubsidi, artinya subsidinya B to B,” ujarnya.
Ia juga berharap penerapan BLU dapat segera dilaksanakan sehingga harga jual batu bara ekspor dan impor dapat disesuaikan. Keterlambatan penerapan BLU, kata Anggawira, bisa menjadi kelemahan bagi pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab untuk tidak menuntaskan kewajiban DMO kepada PLN.
“Kalau BLU tidak bisa diterbitkan dalam situasi sekarang ini, akan terjadi lagi dan lagi. DMO bisa dikatakan rawan penipuan, perusahaan bisa bersekongkol untuk tidak menyetor DMO,” kata Anggawira.
Ia juga mengatakan, ide awal pengadaan BLU berasal dari pemerintah sehingga keputusan akhir terkait implementasi BLU juga ada di tangan pemerintah. “BLU adalah gagasan pemerintah. Dari awal sebenarnya sudah bagus,” kata Anggawira.
Sebelumnya, pemerintah tak memberikan kepastian terkait pelaksanaan pungutan ekspor batu bara oleh Badan Layanan Umum (BLU) yang sebelumnya ditargetkan mulai Januari 2023. Rencana ini kini terancam batal karena belum ada kesepakatan mengenai pengoperasian waktu BLU.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, mengakui pelaksanaan BLU masih menghadapi beberapa kendala atau hambatan. Konsep kerangka BLU awalnya akan meniru Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Namun, kata Arifin, konsep kerja BLU tidak bisa disamakan dengan BPDPKS. Hal ini berangkat dari usulan tugas dan fungsi BLU batubara yang hanya memiliki satu fungsi yaitu mengatur selisih harga pasar batubara dengan harga DMO untuk PLN dan industri tertentu seperti industri semen dan pupuk.
“Jadi benar BLU yang diajukan kemarin masih bermasalah. BLU masih dibahas,” ujar Arifin saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (6/1).
Melalui skema BLU ini, PLN dan semen, pupuk serta industri tertentu hanya perlu membayar batu bara dengan harga jual domestic market obligation atau DMO yaitu US$ 70 per ton untuk PLN dan US$ 90 per ton untuk industri.
Selisih harga jual pasar akan dibayarkan kepada pengusaha melalui dana yang dihimpun oleh BLU. Sumber pendanaan BLU berasal dari pungutan ekspor batubara. Fungsi tunggal ini bertolak belakang dengan peran BPDPKS yang tidak hanya sebagai lembaga ‘gathering-channel’.
Dana retribusi BPDPKS juga memiliki fungsi lain seperti peremajaan perkebunan kelapa sawit, penelitian dan pengembangan perkebunan kelapa sawit, dan pemenuhan kebutuhan pangan, hilirisasi industri perkebunan kelapa sawit, serta penyediaan dan pemanfaatan sayuran jenis biodiesel. bahan untuk solar. campuran bahan bakar. “Karena di sawit juga ada kaitannya dengan solar, kalau BLU batubara tidak seperti itu,” kata Arifin.